11 September 2008

Hukum mati koruptor

Koruptor Dihukum Mati, Kenapa Tidak!

Koruptor kakap tidak hanya merugikan negara, tapi juga menghancurkan rakyat dan generasi penerus. Sehingga pantas bila diganjar hukuman mati.

Korupsi atau penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan memperkaya diri pribadi dengan cara mengambil harta milik negara atau rakyat adalah perbuatan biadab, dan dalam ajaran Islam masuk dalam kategori dosa besar.

Namun sayangnya, para koruptor kakap negeri ini yang telah terbukti merugikan negara miliaran hingga triliunan rupiah, cuma diancam hukuman beberapa tahun penjara. Bahkan, ironinya lagi, banyak yang masih bebas berkeliaran tanpa tersentuh tangan-tangan hukum.

"Padahal hukuman mati pantas diancamkan pada pelaku tindak pidana korupsi, juga produsen dan pengedar narkoba untuk pencegah bagi yang lain agar tidak melakukannya," kata Ketua Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah Kalsel, Drs H Adijani Al Alabij SH.

Hal ini, lanjutnya, diperkuat dengan sejarah hukum di Inggris. Seorang hakim bernama Hence Burnet menghukum gantung pencuri kuda, padahal yang dicurinya cuma seekor.

Lalu apa alasan sang hakim dari Inggris?

"Anda akan dihukum gantung, bukan karena mencuri seekor kuda tapi agar kuda-kuda yang lain tidak dicuri," kutip Adijani.

Dalam hal pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia, lanjutnya, kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) juga memberi peluang.

"Hukuman pidana termasuk hukuman mati, ada sebelum ada pelakunya. Ini sama sekali tidak melanggar HAM (hak asasi manusia), sebab si pelaku sendiri yang memilih hukumannya dengan perbuatan yang dia lakukan," imbuhnya.

Demikian pula dalam Islam, ada aturannya dengan diperkuat dalil ayat-ayat Alquran.

"Kalau segala upaya hukum telah dilakukan baik banding, kasasi, peninjauan kembali (PK), bahkan sampai grasi namun ditolak juga, maka hukuman matinya disegerakan agar si terhukum tidak menderita dua kali," ujarnya.

Diakui dosen Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin ini, beberapa waktu lalu, pernah dilakukan nota kesepahaman (MoU) antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk tidak mensalatkan jenazah koruptor.

"Namun dalam Alquran yang tidak disalatkan hanya jenazah orang fasik, yaitu orang yang menolak agama Islam. Saya kira itu pemahaman saja lagi, apakah koruptor setara dengan kaum munafik," pungkasnya.

Hukuman Pancung

Fungsi hukum dalam Islam, menurut juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kalsel H Hidayatul Akbar SE, ada dua yaitu pertama sebagai penghapus dosa (jawabir) dan kedua, efek jera (jawazir).

Terkait hukuman bagi koruptor, sesuai hadis Rasulullah "Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap", maka sekecil apapun korupsi harus ada sanksi, hukuman setimpal dan paling berat adalah hukuman mati.

"Paling afdol untuk hukuman mati adalah dengan dipancung," kata Hidayatul Akbar.

Dengan cara ini, menghapuskan dosa bagi terhukum sehingga tidak ada lagi siksa di akhirat. Dan dengan disaksikan oleh khalayak, maka memberi efek jera bagi masyarakat.

"Hukuman mati bagi koruptor, pantas dijatuhkan dan sangat relevan dengan kondisi negara kita. Teroris saja dihukum mati, lebih-lebih koruptor," tegasnya.

Apalagi, lanjutnya, dampak korupsi belum tentu bisa tertanggulangi dalam kurun seratus tahun. Mengakibatkan negara bangkrut, kemiskinan, membuat rakyat frustasi, dan kita terancam kehilangan generasi berkualitas.

Padahal dengan uang yang dikorupsi, misal dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), 30 persennya saja dapat digunakan untuk menyelamatkan rakyat Indonesia.

Berdasar kitab Nizamul Ukubat karangan Abdurrahman Al Maliki, korupsi termasuk kategori ta'zir (tidak termasuk hudud dan jinayat) dengan ancaman hukuman dari terendah diperingatkan sampai tertinggi diancam hukuman mati.

Para pemimpin Islam telah mencontohkan hal ini, termasuk Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata,"Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang."

"Menanggulangi korupsi harus menyeluruh, dimulai dari keteladanan pemimpin, membersihkan pejabat korup, dan lakukan kontrol masyarakat," tandas Dayat. hamsi ali

No comments: