11 June 2008

Pemimpin DIpilih Bukan Karena Wajah atau Popularitas

Menyoroti gencarnya promosi calon pemimpin melalui media massa, Ketua Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Unlam, Hidayatullah, menilai sah-sah saja. Menonjolkan diri dilakukan untuk menarik simpati rakyat, baik dengan modal pribadi maupun dari lembaga pengusung. Dengan catatan, bila dari investor tidak mengikat Sebba bila mengikat, dikhawatirkan kalau jadi pemimpin hanya akan berusaha mengembalikan modal dan menjadi perpanjangan tangan kepentingan pengusaha.
"Namun soal layak dipilih atau tidak, itu tergantung tokohnya. Dia tidak sekadar dikenal wajahnya, melainkan juga ide-idenya," kata mahasiswa Fakultas Hukum ini.
Aktivis sosial kemasyarakatan Agus Salim SAg MPd menilai, seorang pemimpin, tidak hanya presiden, dipilih bukan karena wajah atau popularitasnya. Akan tetapi, karena kemampuan memahami dan menuntaskan persoalan masyarakat.
"Saya tidak setuju itu (promosi lewat media massa-red). Kita belum melihat bukti nyata. Mestinya dilihat figurnya, seperti sosok Rasulullah sehingga wajar bila dipuji-puji termasuk dari kalangan Nasrani, Yahudi, dan Majusi," ujarnya.
Figur dimaksud menjadi panutan seluruh umat, sebab memiliki watak konsisten, cerdas, tepercaya, profesional, mampu memenej yang dipimpinnya.
"Pemimpin juga harus bekerja keras dan visionir, memiliki kunci sukses program yang harus dituntaskan. Untuk itu, kita perlu berdayakan pemimpin dari bawah, yang sudah diakui keunggulannya di masyarakat," tegasnya.
Kepada masyarakat, dia juga mengingatkan agar mengambil pelajaran dari kesalahan dan kegagalan. "Masyarakat bisa membaca situasi kondisi dari sekarang, sehingga lebih cerdas memilih pemimpin," kata Agus Salim.

Cari Pemimpin Berpihak Pada Rakyat

Calon pemimpin tak hanya dilihat dari wajahnya, ide-ide dan keunggulannya di masyarakat juga perlu diketahui pemilih.
Meski pemilu dan pilpres 2009 terhitung masih lama, namun masyarakat sudah jauh-jauh hari memasang ancang-ancang. Pengalaman telah membuat masyarakat belajar. Salah memilih pemimpin, akibatnya rakyat juga yang menderita.
Orang-orang yang dipilih jadi pemimpin, ketika sudah duduk di kursi kekuasaan lupa dengan rakyat.
"Seperti penaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kan rakyat juga yang menanggung beban paling berat. Padahal ketika kampanye, SBY-JK berjanji tidak menaikkan harga BBM," kata Tri Sarwono.
Bagi mahasiswa FKIP Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin ini, siapapun pemimpinnya tidak masalah. Asal, bisa memposisikan diri sebagai pengayom urusan umat dan mampu mengakomodir keinginan rakyat. Pemimpin harus berpihak pada kepentingan rakyat.
"Dengan menentukan kriteria pemimpin sejak awal, tidak hanya mengandalkan popularitas, diharapkan kedepan kita tidak salah lagi memilih pemimpin," ujarnya.
Ketua Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Unlam, Hidayatullah mengatakan, masyarakat sudah sangat kecewa dengan pemimpin bangsa. Hal ini terjadi karena masyarakat tidak terayomi.
"Kampanye janjinya pendidikan gratis, kesehatan gratis. Kenyataannya, hanya omong kosong," gugat Hidayatullah.
Seorang pemimpin, lanjutnya, seharusnya merujuk pada Rasulullah, sosok pengayom umat yang memiliki sifat menyampaikan (tablik), mampu mengelola sumber daya (amanah), mempu mengelola sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat (fathonah), dan bersifat jujur, tidak hanya manis di mulut (sidik).


Menghitung Nama Seperti Ramalan BMG

Ulama Banjarmasin KH Waini Hambali, mengatakan, berdasar kitab Tajul Muluk karangan Syekh Zainuddin Al Fattani At Thailand, pemberian nama dihitung berdasar hari, bulan, dan waktu kelahirannya. Saat lahir dibagi lagi, apakah siang; matahari naik atau turun, dan malam; menjelang matahari terbit atau setelah terbit.
Kemudian, nama juga dicocokkan dengan nama orangtuanya. Jangan sampai nama anak, aksaranya lebih tinggi dari orangtua. "Anak tersebut bisa mambala-bala , suka menghamburkan harta orangtuanya," kata Waini.
Penghitungan ini juga digunakan untuk pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. "Makanya orang bahari jangan bercerai. Tidak seperti pasangan sekarang, banyak tidak langgeng," nilainya.
Diakuinya, ilmu ini termasuk langka, tidak semua orang menguasainya. "Namun, ilmu ini bisa dipelajari merupakan gabungan matematika dan ilmu falak. Sama saja dengan ramalan Badan Meteorologi dan Geofisika atau BMG," kata Waini.

Di Balik Nama Berakhiran Huruf Hidup

Orang yang namanya berakhiran huruf hidup atau vokal, dipercaya hidupnya bakal sukses dan menjadi orang besar. Benarkah?
Ahmad Zain, begitulah nama yang diberikan orangtuanya kepada pegawai sebuah perusahaan swasta di Banjarmasin ini. Perjalanan karir yang kurang menggembirakan, membuatnya bertanya-tanya. Salah satunya, baru dua bulan diangkat sebagai kepala bagian, tiba-tiba dia digeser oleh orang baru.
Hal ini membawanya berkonsultasi pada seorang ulama. Lalu apa kata sang ulama? "Namamu kurang bagus, harus diganti jadi Muhammad Zaini."
Saran tersebut diterimanya. Tasmiyah dan potong kambing pun dilaksanakan. Sejak itu, meski di administrasi kantor tidak mencantumkan nama baru, yang berakhiran huruf hidup, karirnya membaik. Kewajiban berhaji pun dapat dilaksanakannya.
Demikian pula bila menilik penamaan produk kendaraan bermotor, terutama dari Jepang. Yamaha, Honda, Kawasaki, Suzuki, semuanya berakhiran huruf hidup. Produk dari negeri sakura ini di pasar lebih laku dibanding Jialing, Bajaj, yang notabene berakhiran huruf mati.
Diakui ulama Banjarmasin KH Waini Hambali, memberi nama anak tidak boleh sembarangan atau asal-asalan. Seorang anak berhak memperoleh nama yang baik. Hal itu merupakan salah satu kewajiban orangtua, selain mendidiknya beragama dan memberi nafkah dari yang halal.
"Salah memberi nama, bisa berakibat fatal. Mungkin tidak panjang umur, suka mengamuk, menghabiskan harta orangtua, atau sifat jelek lainnya," kata Waini Hambali.
Dibeberkannya, berdasar ulama fikih dari mazhab Syafii, Imam Nawawi, hukumnya ada lima memberi nama anak yaitu haram, wajib, sunat, makruh, dan mustahaf atau dianjurkan sekali.
"Namun tidak berarti nama harus berakhiran huruf hidup, meski nama anak-anak saya semua seperti itu. Saya pernah memberi nama orang Nurul Mahmudah artinya cahaya yang terpuji," cerita bapak dari Zainal Ilmi Ar Ridha, Umi Jihan Bahesti, dan Ummul Hani ini.
Dia menganjurkan, bagi Muslimin yang tidak tahu apa nama yang bagus bagi buah hatinya sebaiknya bertanya pada ulama. "Jangan nama anak dicomot dari majalah atau tv, atau asal sama dengan tokoh yang dikagumi," tegasnya.