30 November 2008

Pulau Telo di DAS Kahayan

Telo berasal dalam bahasa Kapuas, berarti tiga. Jadi, Pulau Telo adalah tiga buah pulau di daerah aliran sungai (DAS) Kahayan yang daratannya terpisah dari Kota Kuala Kapuas. Dapat dicapai dengan transportasi sungai seperti jukung (sampan-red), kelotok atau speed boat.

Sekilas, pulau itu nampaknya hanya ditumbuhi pohon-pohonan, jingah atau rambai. Padahal jika masuk, maka akan terlihat hamparan hijau persawahan penduduk.

Bahkan menurut Khairun (70), sesepuh masyarakat Desa Pulau Telo Kecamatan Selat, kegiatan bersawah itu sudah berlangsung bertahun-tahun.

"Hasilnya bagus, sama saja dengan di tempat lain," ujarnya dengan logat Dayak yang kental.

Soal pulau itu akan dijadikan lokasi perjudian, dia mengaku belum mendengarnya. Tapi, lanjutnya, tentang rencana membuka pulau itu sebenarnya sudah beberapa kali dilakukan. Selain oleh orang dari luar negeri, keluarga cendana (mantan presiden Soeharto-red) pun di jaman orba pernah berminat membuka kawasan Pulau Telo.

"Rencananya mau dibikin taman dan tempat rekreasi, katanya. Waktu pembukaan, mbak Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana-red) juga datang," cerita Khairun.

Malah, lanjutnya, pejabat daerah dan anak-anak sekolah juga dikerahkan di peresmian awalnya. Berbagai hiburan dan permainan musik, menjadi sajian utama acaranya.

Namun entah kenapa, proyek itu terhenti tiba-tiba. Padahal sudah berjalan dan sempat dilakukan pengerukan, yang tujuannya untuk membuat jalan menghubungkan ketiga pulau.

"Kami juga tidak tahu kenapa berhenti, padahal sudah dikeruk," tukasnya.

Setelah beberapa tahun tidak ada kabar beritanya, seiring turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, tiba-tiba setengah tahun lalu datang orang asing melihat ke tempat yang sama. Informasinya, orang dari Jepang itu juga membawa penerjemah.

"Katanya survey, kami juga diajak foto-foto. Tapi cuma itu, karena sampai sekarang tidak pernah datang lagi," tutur kakek berperawakan kurus ini.

Buaya Buntung

Selain rimbun dengan pohon-pohonan juga di berbagai sudutnya dapat ditemui kain-kain berwarna kuning dalam berbagai ukuran yang dipasang seperti bendera. Tempat itu, memang dipercaya masyarakat sebagai tempat angker dan ada penunggunya.

"Kelihatannya kayu-kayuan, tapi bila malam-malam orang yang lewat melihatnya seperti banua yang terang benderang," ujar Khairun yang percaya kalau pulau itu memang ada penunggunya.

Malah berdasar cerita yang diperolehnya dari orang-orang tua dulu, pulau itu dulunya adalah kapal Belanda yang kandas.

"Sudah berabad-abad lalu, lama-kelamaan menjadi pulau," beber kakek yang sudah tinggal lebih 40 tahun di daerah itu.

Sedang kain-kain kuning yang dipasang laiknya bendera, diakuinya itu berasal dari orang-orang yang berhajat. Mereka ada penduduk setempat, namun tidak jarang datang dari jauh.

"Mungkin karena mereka percaya pulau ada penunggunya, makanya mereka berhajat," tandasnya.

Sementara menurut Gawang, penunggu Pulau Telo adalah seekor buaya buntung yang disebut Raden Kudung.

"Bahari katanya memang ada penunggunya di sini, seekor buaya buntung tidak bertangan dan berkaki, namanya Raden Kudung. Aneh dan ajaib, memang," beber Gawang.

Ini, lanjutnya bukan hanya kisah tapi berdasar cerita mertuanya yang mengalami sendiri di kejar-kejar buaya di sekitar lokasi Pulau Telo.

"Dulu semasa sidin sekolah tahun 40-an, jukung yang sidin dan kawan-kawan tumpangi sering dikejar buaya. Bila tidak dilempar sesuatu, misal papan atau benda apa saja, bakalan jukung yang jadi sasaran," imbuhnya.

Makanya tak heran, kalau di sekita Pulau Telo, ada saja orang yang memasang bendera atau kain kuning.

"Mungkin mereka punya hajat tertentu, dan masih percaya tempat itu ada penunggunya yang bisa memenuhi keinginan mereka," tukas Gawang.

Musibah Jukung Terbalik

Di sekitar Pulau Telo, tak jarang ditemui hal-hal aneh. Salah satunya musibah terbaliknya jukung yang menewaskan seluruh penumpangnya, akhir Oktober 2003.

Menurut orangtua salah seorang korban, mereka merasa aneh dan tak percaya atas kejadian itu. Pasalnya, puluhan tahun bermukim di sana dari nini-kai mereka dulu, tidak pernah mengalami kejadian seperti ini.

"Katanya kena gelombang, ujar pemancing ikan yang sempat melihat. Tapi gelombang itu disebabkan oleh apa, tidak ada yang tahu," ungkap Toyo dan Sariah, orangtua almarhum Agus Ariyanto.

Bahkan dilihat sepintas, lanjutnya, aliran sungainya nampak tenang dan tak bergelombang. Meski sesekali dilalui kapal motor atau speed boat, sungai yang termasuk DAS (Daerah Aliran Sungai) Kahayan ini, hanya menimbulkan riak dan gelombang kecil sepanjang permukaannya.

Dan melewati sungai juga bukan hal aneh bagi mereka. Sehingga rute yang dilalui, sudah sangat mereka hapal. Jukung yang dipergunakan pun sama seperti biasa, hanya berukuran sekitar empat depa. Tapi entah kenapa di hari naas itu, jukung yang dimuati lima orang serta berbagai keperluan rumah tangga dan bahan berjualan, terbalik.

1 comment:

Anonymous said...

Pulau telo desaku tercinta, lbh dr 20 the ku tinggalkan, ntah gimana sekarang keadaanya, pasti lbh bnyak perubahan dan maju, Toto