01 December 2008

Masjid Buruk dan Batu Beranak

Namanya saja masjid tapi tak pernah disembahyangi, kecuali untuk selamatan dan shalat hajat bila musim manaradak tiba. Malah oleh masyarakat, masjid ini dikeramatkan karena dipercaya memiliki apuah.
Lumrahnya masjid digunakan untuk mendirikan shalat, ternyata itu tak berlaku buat masjid satu ini yang diberi nama sesuai nama yang membangun, Masjid 'Amal Datuk Ulin atau yang dikenal Masjid Buruk. Dan kalau pun digunakan shalat, hanya shalat hajat menjelang musim manaradak (menyemai benih padi) yang dilakukan sekali setahun setiap bulan Oktober. Sedang untuk shalat Jumat, mereka berduyun-duyun mendatangi desa tetangga, Desa Ulin Bayur yang letaknya sekitar satu kilometer.

Dilihat sepintas, kondisi bangunan yang usianya diperkirakan ratusan tahun ini tak menunjukkan bentuk dan ukuran masjid pada umumnya, lebih nampak seperti pesanggrahan tempat biasa orang tetirah (menyepi). Meski begitu, masyarakat tetap menjulukinya masjid dengan kekeramatan yang dimilikinya.

Bangunan yang hampir di setiap sudutnya dipenuhi kain kuning dan berada di sekitar persawahan penduduk, menurut kepercayaan warga sekitar dibangun oleh Dul Amat yang bergelar Datuk Ulin.

Seperti penuturan seorang warga Desa Kamal, Maslan yang biasa disapa Abah Okoh, masjid yang dibangun Datuk Ulin ini beberapa kali sempat akan dibumihanguskan Belanda. Dan Datuk Ulin sendiri menurutnya, bukanlah orang sembarangan, dia memiliki ilmu kedigdayaan. Berkat kekeramatan yang dimilikinya, usaha yang dilakukan tentara Belanda selalu gagal.

Berdasar cerita, lanjut Maslan yang sudah tergolong sepuh, setiap kali meriam atau senapan ditembakkan ke arah masjid, masjidnya selalu hilang dari pandangan sehingga tembakan hanya mengenai tempat kosong. Padahal, ketika diteropong obyek sudah pas dari sasaran tembak.

"Sering ditemukan peluru atau serpihannya oleh penduduk yang sawahnya di sekitar sini, itu sebagai bukti," tukas Maslan.

Dan meski kini Datuk Ulin sudah tiada, dipercaya masyarakat dia wafat (gaib), namun dia masih sempat menitipkan masjid pada Datuk Baduk dan tentara kerajaan gaib yang mengawalnya.

"Saat ini saja Datuk Baduk berada disini, sedang duduk di tiang itu, cuma kita saja yang tidak melihat," ujarnya sembari menunjuk sebuah tiang yang persis berada di tengah ruangan.

Tempat Ritus

Rupanya, karena kekeramatan itulah bangunan yang terletak di Desa Kamal berbatasan dengan Desa Ulin Bayur Kecamatan Simpur, sekitar 10 Km dari Kota Kandangan, lebih banyak digunakan buat ziarah dan ritual masyarakat. Seperti basalamatan, bernazar dan menginapkan benda-benda yang terkait dengan pertandingan atau judi, adalah suatu yang lumrah di tempat ini.

"Biasanya karena telah memanggil Datuk Ulin dan nazarnya (hajat) terkabul, kemudian datang kesini basalamatan dan meletakkan kain kuning," ungkap Jumenang warga Desa Kamal.

Pun beberapa waktu berselang, menurut Jumenang, ada warga Loksado asal Desa Ulin yang melakukan selamatan dan mengundang warga sekitar. Ternyata, orang itu baru saja terbebas dari luapan air bah yang menghancurkan rumah, harta benda dan jiwa penduduk di Loksado.

Saat luapan air bah nyaris menerjang rumahnya, dalam pikiran kalut dia teringat Datuk Ulin dan serta merta menyebut namanya. Tak dinyana, air yang semula menggelegak dengan suaranya yang dahsyat, tiba-tiba berbalik arah dan selamatlah dia beserta keluarga dan rumah yang mereka tempati.

Bahkan tak tanggung-tanggung, karena nazarnya yang berkaitan dengan usaha terkabul, seorang lurah dari Banjarmasin yang juga seorang pengusaha batu bara, bersedia memperbaiki bangunan masjid tanpa merubah bentuk aslinya.

"Sekitar bulan puasa yang lalu, makanya atap dan sebagian dindingnya masih terlihat baru," imbuh Jumenang sembari menunjukkan bagian-bagian yang telah direhab.

Sementara ritual menginapkan benda atau alat yang akan digunakan dalam pertandingan, lanjutnya, lebih dimaksudkan untuk tujuan mendapat berkah atau apuah dari Datuk Ulin.

"Tujuannya tidak lain ya agar menang, jadi dimalamakanlah gasing atau ayam yang besoknya akan ditandingkan," paparnya yang diiringi anggukan setuju dari Yuni. Bahkan kerap, pagi besoknya penduduk yang melintas di depan masjid menemukan ayam yang masih berkeliaran atau bertengger di palang bubungan masjid.

Ketika ditanya, apakah benda dari jenis perlombaan lain seperti sepatu sepakbola atau raket badminton juga pernah diinapkan di sini, baik Jumenang maupun Yuni tak dapat memastikan hal itu. Menurutnya, sepengetahuan mereka hanya dua jenis lomba itu yang sering, itu pun karena terkait jenis permainan yang disukai masyarakat.

"Tapi mungkin saja, karena kami memang tak memantaunya setiap saat," timpal Yuni.

Batu Beranak

Anehnya lagi, bangunan yang cuma berukuran kurang lebih 4x4m persegi dan hanya sebagian berdinding, persis di tempat imam yang menghadap persawahan penduduk, terdapat berpuluh batu berbagai ukuran. Dari batu yang seukuran kepala kerbau hingga yang cuma sebesar jempol, dipercaya masyarakat memiliki kekuatan berpindah tempat dan menggandakan diri, batu beranak istilahnya.

Disekeliling batu dibuat semacam pagar yang membentengi tumpukan batu. Dan nyaris tanpa sela, bertumpuk-tumpuk kain kuning yang sebagiannya sudah pudar warnanya menutupi batu, sehingga tak nampak jelas dari jalan masuk.

Ternyata, tak jauh dari masjid, tepatnya di sisi jalan utama desa, terdapat bangunan yang didalamnya bersemayam batu beragam ukuran menyerupai yang ada di dalam masjid. Dan tentu saja, menurut masyarakat, kedua tempat ini memiliki keterkaitan satu sama lain. "Kadang, batu yang berada di pinggir jalan, tiba-tiba sudah berada di masjid dan begitu sebaliknya," ujarnya.

Menurut Jumenang, beberapa penduduk pernah coba membuktikan termasuk dirinya, apakah yang dikatakan orang tentang batu beranak benar atau sekedar kepercayaan belaka.

"Pernah dicoba memastikan jumlahnya dan dilakukan berulang. Ternyata tiap orang yang menghitung tidak pernah sama jumlahnya, kadang kurang atau lebih," akunya tanpa sungkan.

Pengalaman lain, lanjutnya, pernah pula diutarakan seorang nenek yang kesehariannya tak lepas dari kebiasaannya menginang. Suatu hari di depan masjid, ketika dia lewat tanpa sengaja terantuk batu sebesar jempol. Serta merta diambilnya batu itu dan langsung tertarik membawanya pulang.

Sesampai di rumah, sambil memoleskan kapur ke daun sirihnya, tanpa sengaja jari jemarinya yang belepotan kapur menyentuh batu yang barusan dipungutnya dari jalan. Tak ayal, si batu pun turut kena kapurnya. Dan tanpa berpikir lebih jauh, karena ada pekerjaan yang harus dilakukannya, dia meninggalkan batu diantara peralatannya menginang.

Selang esok harinya ketika dia ingin menuntaskan hajatnya menginang, batu itu sudah tak ada lagi di sana, raib entah kemana. Dan beberapa hari kemudian, tanpa sengaja dia menemukan batu itu diantara tumpukan batu yang ada di dalam masjid, masih berselimut kapur.

Datuk Ulin

Datuk Ulin diperkirakan hidup semasa dengan Sultan Suriansyah, raja kerajaan Banjar yang pertama kali memeluk Islam. Sampai kini pun, warga sekitar masjid mempercayai kalau Datuk Ulin itu wafat (gaib) dan bukannya mati sehingga masih bisa dimintai pertolongannya.

Dan menurut penuturan Maslan, Datuk Ulin bukanlah orang sembarangan, dia memiliki ilmu yang tinggi dan tak mempan oleh senjata apapun. Karena kedigdayaan ilmu yang dimilikinya, semasa di dunia dia dipanggil Pangeran Suriansyah untuk membantu memerangi pasukan Belanda dan Inggris yang ingin menguasai bumi Lambung Mangkurat.

"Bersama Garuntung Waluh, Garuntung Manau dan Panimba Sagara, Datuk Ulin berjuang bahu membahu," urai Maslan.

No comments: