Jalanan berbatu, terjal dan mendaki yang mendominasi kawasan kecamatan Loksado, telah begitu akrab dalam keseharian Barniah. Demi dakwah, medan sulit itu hampir tiap hari dilaluinya selama lebih 10 tahun terakhir.
Taman Pendidikan Alquran (TPA) yang tersebar di beberapa desa seperti Halunuk, Panggungan, Malinau, Tumingki, Haratai, Lok Lahong, Kamalakan, merupakan lahannya mensyiarkan Islam. Meski santrinya tidak banyak, toh tak menyurutkan langkahnya.
Beruntungnya, beberapa tahun terakhir sudah ada beberapa desa yang jalannya sudah beraspal. Sehingga memudahkan menempuhnya dengan sepeda motor. Padahal dulu, untuk menuju desa Lumpangi dari Malinau yang berjarak 8 Km, dia harus berjalan kaki tak kurang dari dua jam.
Meski kondisi medannya mulai membaik, namun tetap masih banyak desa dan dusun yang harus didatanginya dengan hanya berjalan kaki. Karena selain cuma jalan setapak, medannya pun mendaki.
"Mulai Muara Ulang ke atas, itu jalannya masih sulit. Kadang bersepeda motor pun susah, karena jalannya terjal dan mendaki juga," aku Barniah.
"Mungkin agak sulit juga membayangkan, kalau tidak melihat langsung medannya," imbuh perempuan sederhana berkacamata minus ini sembari menerawang jauh.
Saking sulitnya medan yang harus ditempuh, apalagi bagi seorang perempuan, bahkan seandainya tubuh manusia ini seperti sepeda motor, lanjutnya, mungkin sudah banyak onderdilnya yang copot.
"Lha sepeda motorku saja sudah tak terhitung lagi berapa banyak onderdilnya yang copot, apalagi tubuh manusia yang setiap hari menjelajahnya," tukasnya dengan senyum sumringah.
Itu sepintas medannya, belum lagi tantangan dan kendala dakwah yang harus dihadapinya bersama sekitar 20-an orang tenaga PAI (Penyuluh Agama Islam) dan Jupen (Juru Penerang) lainnya. Bukan hanya dari masyarakat Dayak Loksado yang masih banyak memeluk agama nenek moyang, Kaharingan, tapi juga kalangan misionaris Kristen yang gencar menyebarkan agamanya.
Berdakwah di sana, lanjutnya, bukan semata menyampaikan ajaran Islam, namun harus mampu pula membangun benteng pertahanan dan strategi terhadap kelompok misi itu.
Hubungan orang Islam dengan penduduk yang masih menganut Kaharingan tidak ada masalah, bahkan banyak yang masih terikat hubungan darah, namun jadi memanas akibat provokasi orang luar.
"Kalau soal menyebarkan agama sih kita masih bisa terima, tapi mereka juga memprovokasi penduduk sehingga hubungan penduduk yang masih beragama Kaharingan dengan kalangan Islam menjadi panas," bebernya.
Hingga tak terhindarkan, main kucing-kucingan kerap terjadi. Apalagi menyangkut masalah mualaf, Barniah dan teman-temannya sering harus merelakan keselamatan dirinya sendiri terancam.
"Pulang tengah malam pukul 11 atau 12, itu biasa, apalagi kalau ada mualaf yang harus diungsikan karena keluarganya tidak terima. Jadi, kita ini harus siap 24 jam," ujarnya.
Dengan medan sulit itu, toh nyatanya masih jauh dengan penghargaan yang mereka terima. Sebagai tenaga PAI, dia hanya menerima Rp60 ribu per bulan, itu pun diterima per tiga atau empat bulan dengan potongan di sana-sini.
"Tapi, Alhamdulillah, nyatanya cukup saja. Mungkin Allah mencukupkannya dengan memberi rejeki dari sumber yang lain," ujar Barniah yang mengaku kerap dikasih beras dan hasil kebun lainnya oleh penduduk.
Seteru Keluarga
Beratnya medan dan tantangan dakwah di Loksado, sempat membuat semangat Barniah kendor juga. Tahun 1996, dia sempat terlibat masalah pelik menyangkut mualaf dan nyaris mengancam keselamatannya. Padahal pelakunya ini, tidak lain kerabatnya sendiri yang berbeda keyakinan.
Semua bermula dari keakraban Barniah dengan seorang anak perempuan berusia 11 tahun. Anak dari keluarga beragama Nasrani ini, saking manja dan akrabnya kemana-mana Barniah pergi selalu diikuti, ke masjid sekali pun. Malah, anak ini juga kerap bermalam menemaninya.
Lama-lama, rupanya Islam membuatnya tertarik. Kerap dia merengek-rengek minta diceritakan dan diajari tentang Islam. Sampai suatu hari ketika Barniah berniat turun ke Kandangan ke rumah orangtuanya dan kebetulan ada pertemuan di Masjid Quba, anak itu kembali merengek ikut. Keinginannya pun diluluskan Barniah.
Sungguh di luar dugaan yang terjadi kemudian di Kandangan. Di Anak perempuan kelas lima SD itu, kembali meminta untuk diislamkan. Bingung dan kaget, memenuhi rongga kepala Barniah. Namun melihat rengekan dan keinginan anak itu yang kuat, Barniah mencoba mengkonsultasikan sekaligus membawanya ke pertemuan di Masjid Quba.
Setelah ditanyai macam-macam, anak itu tetap teguh ingin berislam. Mau tidak mau anak itu akhirnya diislamkan, dengan pertimbangan orang yang benar-benar berniat ingin berislam tidak boleh dihalangi keinginannya.
"Rupanya anak itu sudah tidak ketahanan lagi, ya akhirnya dia diislamkan dihadapan teman-teman yang lain di Masjid Quba," cerita Barniah mengulang kisah lalu.
Ceritanya tak berhenti sampai disitu, karena sekembalinya anak itu ke rumah, semua jadi lain. Ceritanya berkembang kalau yang mengajak ke Kandangan sekaligus mengislamkan adalah Barniah, dan bukan atas kemauan dari si anak.
Keruan, ini membuat berang orangtua anak itu, terutama bapaknya. Suasana berubah menjadi panas dan tak terkendali. "Oleh teman-teman di gunung aku disurati agar tidak naik dulu, karena orangtua anak itu tidak terima anaknya berislam," imbuhnya.
Hampir sebulan, dia tak menjejakkan kakinya di gunung (sebutan untuk daerah Loksado dan sekitarnya-red), sehingga tugas-tugasnya pun diserahkan ke teman-teman.
Selama rentang waktu itu, selain dia diancam akan diperkarakan, bapak si anak juga mengancam akan menyakitinya melalui 'jalan halus'.
"Kalau kada kawa jalan kasar, jalan halus kulakukan," katanya mencuplik ucapan bapak itu.
Meski memang Loksado terkenal dengan hal-hal berbau mistis, awalnya dia tak percaya. Tapi kejadian persis di waktu Maghrib itu, membuatnya merinding juga. Tanpa ada angin atau apa, tiba-tiba daun jendela kamarnya terbuka-tutup dengan sendirinya. Dan itu, berlangsung berkali-kali di waktu maghrib itu.
Anehnya lagi, tiba-tiba pula ranjang tempat tidurnya, terangkat dari lantai. Masya Allah. Ternyata, hal sama dialami ibunya di kamar sebelah.
"Ya kebetulan waktu itu aku juga sedang halangan, sempat terpikir kalau itu khayalanku saja. Tapi rasanya tidak mungkin lagi karena mama juga mengalaminya, akhirnya aku banyak-banyak ingat Allah," ujarnya.
Kejadian yang dialaminya semakin dikuatkan kabar yang menceritakan kalau tetangganya yang muslim di desa Malinau, satu keluarga menderita sakit aneh yang tidak ada obatnya secara bergiliran.
"Rupanya Allah masih melindungi kami, aku tidak apa-apa dan tetanggaku pun kembali sehat walau sempat sakit serumahan," imbuhnya.
Sekembalinya ke gunung, selama setahun bapak itu tak mau membalas sapaannya. Bahkan bila ketemu, dengan butah (keranjang khas orang Dayak-red) dan parang besar ditangan, dia selalu meludah dan memalingkan wajahnya. Padahal neneknya yang asli desa Lumpangi, sudah mendatangi si bapak dan menceritakan kalau Barniah statusnya masih keponakan bapak itu, sehingga masalahnya tidak perlu diperpanjang.
"Meski tidak digubris, sebagai yang lebih muda aku tetap menyapa. Sampai akhirnya, hampir setahun baru hati sidin luluh dan tidak lagi meludah atau berpaling," tukas dara alumni D-3 Fak Pertanian Jurusan Budidaya Pertanian Unlam ini.
Darah Loksado
Sebelum memulai aktifitas dakwahnya tahun 1993, Loksado, bagi Barniah bukanlah daerah asing. Selain dia lahir disana, darah Loksado pun mengalir deras di tubuhnya.
Ibunya, Rusniah (47) yang sekarang menetap di Kandangan, adalah orang asli Loksado. Namun dari dulu muslim, karena dari nenek ibunya sudah menganut agama Islam. Sekarang pun, nenek, orangtua dari ibunya, masih berdiam di Lumpangi beserta keluarga lainnya yang masih menganut Kaharingan maupun agama Kristen.
Sementara bapaknya, Syahran Noor (alm) meski bukan asli Loksado, namun sejak bujangan sudah menetap dan menjadi guru sekaligus dai di Loksado. Dan Loksado pula yang mempertemukan kedua orangtuanya hingga melangkah ke jenjang pernikahan.
Namun sejak SD sampai SPMA, dia menjalaninya di Bati-Bati dan Kandangan. Namun baru kembali ke Loksado setelah bertugas sebagai tenaga honor penyuluh pertanian di Dinas Pertanian.
Sejak 1996, perempuan yang sempat bercita-cita kuliah di IAIN Antasari Banjarmasin ini, diangkat sebagai Penyuluh Agama Islam (PAI). Dan sekarang, dia termasuk satu diantara 46 orang yang terseleksi sebagai Guru Bakti program Pegunungan Meratus oleh Dinas Diknas.
"Berdakwah di sini harus bermental baja. Aku saja andai tidak dikuatkan mama-abah, mungkin dari sudah berhenti. Pesan sidin, kalau masih bisa bertahan, bertahan saja karena kalangan misi bisa sukses disebabkan keuletan mereka. Itulah yang membuatku hingga sekarang bisa bertahan," tandasnya.