Selain jimat, baju barajah pada jaman revolusi fisik banyak digunakan pejuang untuk melindungi diri. Pembuatannya pun tak mudah, harus melalui proses tirakat. Karenanya, barangsiapa yang mengenakan dipercaya taguh kana atau pelurunya yang baliung (berbelok). Sekarang fungsinya bergeser, agar dihormati dan orang jadi maras kasihan.
Baju barajah dan beberapa pernik jimat dalam salah satu etalase Museum Perjuangan Waja Sampai Kaputing, menjadi pemandangan yang cukup menarik. Diantara berbagai benda peninggalan sejarah lainnya, benda ini dipercaya memiliki kekuatan magis yang berfungsi melindungi diri dari serangan musuh.
Bahkan menurut cerita dari mulut ke mulut, orang memakai baju yang dipakai dibagian dalam ini, apabila kena peluru atau senjata apapun akan taguh (kebal). Ada pula yang mengatakan, peluru yang ditembakkan lawan akan baliung.
Pakaian dan senjata yang bersifat magis itu menurut penjaga museum Noransyah, digunakan karena melihat kondisi persenjataan yang berbeda jauh dan tidak seimbang dengan pasukan pemerintah kolonial Belanda. Para pejuang penegak kemerdekaan RI di Kalsel dengan berbagai upaya mengimbangi kekuatan persenjataan musuh.
"Untuk mengimbangi persenjataan dalam pertempuran melawan pasukan Belanda tersebut, para pejuang membuat berbagai pakaian dan senjata yang bersifat magis serta dilengkapi dengan berbagai jimat," jelasnya.
Sementara khusus baju barajah atau bawafak yang jadi koleksi museum, jumlahnya ada empat buah. Warnanya pun bermacam-macam, tak hanya putih tapi juga kuning dan hitam.
Seperti baju barajah milik seorang pejuang bernama Burhansyah atau Basindo berasal dari desa Gadung Kabupaten Tapin. Baju ini dirajah oleh Haji Muhammad dari desa Gadung Kab Tapin. Pada masa revolusi fisik, baju tersebut sering dipakai beliau baik pada saat aman maupun ketika bertempur melawan pasukan Belanda, karena diyakini mempunyai kekuatan magis.
Kemudian baju bawafak warna hitam yang bagian dalamnya berwarna hijau, milik komandan pasukan X 18 Samidri Duman dari Padang Batung Kab HSS. Pada masa revolusi fisik baju tersebut pernah difungsikan beliau dalam pertempuran garis demarkasi di desa Karang Jawa Kandangan pada tanggal 8 Agustus 1949.
"Baju ini diserahkan langsung oleh Samidri Duman tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Sidin tidak ingin anaknya tahu, takut kalau merasa jago karena memilikinya," ujar.Drs H Sjarifuddin.
Baju milik pejuang H Hassan Abdullah dari Batakan Kab Tanah Laut. Rompi ini sering difungsikan pemiliknya ke medan-medan pertempuran melawan pasukan Belanda karena juga diyakini memiliki kekuatan magis.
Sedang baju barajah milik Nurdin bin Abdullah juga dari Batakan Kab Tanah Laut, dirajah oleh ulama asal Martapura H Ilmi. Sering dipakai pemiliknya baik dalam keadaan aman maupun ketika bertempur melawan pasukan Belanda pada masa Revolusi fisik.
"Mereka ini dalam berbagai pertempuran yang dijalani, alhamdulillah selamat dan mampu melindungi teman-temannya yang lain," imbuhnya.
Taguh Kana Baliung
Meski menurut Sjarifuddin pemilik baju barajah itu tak pernah menceritakan ketaguhannya ketika mengenakan baju itu, tapi cerita dari mulut ke mulut yang beredar memang sungguh menakjubkan. Betapa tidak, orang yang mengenakannya akan taguh kana atau baliung persenjataan yang mengarah padanya.
"Pejuang yang mengenakannya pasti kebal, menurut cerita yang beredar di masyarakat," elaknya.
Makanya, biasa orang yang memiliki baju ini selalu berdiri di depan karena dipercaya dapat menangkis serangan pasukan Belanda. Dan orang-orang yang berada di garis belakangnya, selamat sehingga dapat meneruskan perjuangan.
"Bila kena peluru, pelurunya mental dan ada juga yang pelurunya baliung tak mengenai sasaran," paparnya mengutip cerita yang dia dengar.
Pun sorban barajah milik orangtua H Salmah yang digunakan H Salmah pada pertempuran Batakan pada tanggal 13, 15 dan 16 April 1946. Dengan cara berdiri sambil mengibarkan surban disertai keyakinan, semua peluru yang ditembakkan pasukan Belanda menyasar ke tempat lain.
Namun seperti diakui Alian, pasca kemerdekaan pun ternyata masih banyak orang yang menggunakan meski latar belakangnya sama-sama pertempuran. Menurutnya era 70-an ketika banyak tentara di kirim ke Timor Timur (sekarang Timor Lorosae) untuk memulihkan keamanan, salah seorang yang berangkat adalah kenalannya di Amuntai, Dayat.
"Menurut ceritanya, dengan memakai baju barajah, beberapa kali peluru yang mengarah padanya baliung (berbelok) menyasar ke tempat lain," kata Alian.
Senada, Hj Zuhrah Hamzah pun sepakat kalau saat ini pun baju berajah masih ada yang menggunakan. Jika dulu fungsinya melindungi diri dari serangan senjata musuh, kini beralih agar orang menjadi maras kasihan dan hormat pada si pemakai.
"Yang melihat jadi hormat dan maras kasihan, keinginan tidak baik dari orang itu langsung sirna," jelasnya.
Menimbulkan Keberanian
Mantan Kepala Musium Lambung Mangkurat Banjarbaru, tak menampik kalau baju barajah pada masa perjuangan digunakan untuk menimbulkan keberanian. Keberanian itu sendiri bermakna memiliki kekebalan dan mampu menahan gempuran pasukan Belanda. Apalagi saat itu, persenjataan anak negeri benar-benar tak seimbang dibanding persenjataan pasukan Belanda.
"Segala daya dikerahkan, sampai menggunakan kekuatan yang punya unsur magis termasuk baju barajah itu," ungkap Sjarifuddin yang juga bertindak sebagai Ketua Tim pengumpulan benda-benda sejarah dalam pendirian Musium Perjuangan.
Baju barajah sendiri sepengetahuannya, dibuat tidak segampang yang dibayangkan. Karena ada ritual atau tirakat tertentu yang harus dilakoni dan hanya ulama yang dekat dengan Allah saja yang sanggup melakukannya, bukan sembarang orang.
"Ada yang sampai 40 Jum'at membuatnya dan yang membuat orang alim, bukan sembarang orang," tukasnya sembari mengaku lebih memilih tidak menggunakan benda-benda semacam itu karena dapat mengarah pada perbuatan syirik.